Senin, 17 Januari 2011

KLARIFIKASI DAN PERNYATAAN SIKAP TERKAIT PENELITIAN DAN PERNYATAAN SOSOILOG UI Prof. TAMRIN AMAL TAMAGOLA PADA HARIAN KOMPAS 30 DESEMBER 2010.


Tamrin mengatakan, contoh masyarakat yang tidak resah terhadap video tersebut adalah masyarakat suku Dayak, sejumlah masyarakat Bali, Mentawai dan masyarakat Papua.

Dari hasil penelitian saya kata Tamrin “ Di Dayak itu, bersenggama tanpa diikat oleh perkawinan oleh sejumlah masyarakat sana sudah dianggap biasa. Malah itu dianggap sebagai pembelajaran seks”

Analisa :

Tentunya masih segar dalam ingatan kita, tentang sebuah analogi yg dipaparkan oleh Menteri komunikasi dan Informatika RI Tifatul Sembiring terkait Video Asusila Ariel. Dimana analogi tersebut sangat melukai hati kita masyarakat Indonesia yg beraneka ragam dan majemuk serta beragama. Belum pudar permasalahan ini, muncul kembali sebuah statement yg terkait dengan Video asusila ariel. Kali ini statement dan sebuah hasil penelitian yang dipaparkan pada persidangan kasus video asusila ariel oleh seorang Sosoilog Universitas Indonesia. Prof. Tamrin Amal Tamagola. Statement ini sangat meresahkan dan merusak nilai-nilai keberagaman dan memicu persepsi negatif terhadap suku/etnis yg disebutkan oleh Tamrin. Khususnya suku Dayak, hasil penelitian Tamrin sangat membuat masyarakat adat Dayak diseluruh borneo merasa tersakiti.

Hasil penelitian tersebut tidaklah sesuai dengan apa yg anda sebutkan Tamrin, berkaca kepada kehidupan sehari hari dan sistem interaksi sosial masyarakat Dayak keseluruhan nya. Masyarakat Dayak sangat berpegang teguh dan menjunjung tinggi norma adat dalam kehidupan sehari – hari. Jika ada sebuah pelanggaran baik besar maupun kecil, maka orang yg melakukan pelanggaran tersebut akan menerima sanksi hukum yaitu berupa hukum adat, dan hukum adat tersebut diterapkan sesuai dengan tingkat kesalahan. Terkait dengan penelitian Tamrin, saya mencoba mempelajari dan menelaah secara keseluruhan, sesuai dengan pernyataan dan penelitian yg dilakukan oleh Tamrin, seperti apa yg telah disebutkan oleh Tamrin pada sidang kasus video asusila ariel, sangat tidak sesui dengan kehidupan masyarakat dayak secara keseluruhan baik umum maupun khusus. Sebagai contoh, sepasang muda mudi jika ditemukan berdua, bergandeng tangan sebelum memiliki ikatan perrnikahan, atau ditemukan ditempat yg sepi. Maka kedua pasang muda mudi tersebut akan dikenakan sanksi adat. Sanksi berupa pembayaran tail adat, pernikahan dan status sosial akan terkucil dalam interaksi sosial dilingkungan masyarakat tersebut.

Bahkan dalam sebagian kecil Sub Suku Dayak yg ada dipulau borneo ini Hukum dan sanksi adat lebih efektif dibandingkan hukum yg telah diatur didalam negara (hukum positif).

Atas dasar apa anda Tamrin dapat melakukan penelitian dan membuat sebuah pernyataan yg dimuat oleh media massa pada kasus persidangan video asusila ariel dan hal tersebut terkait dengan masyarakat Dayak, dan mendiskritasikan sistem interkasi sosial dan pola hidup pada masyarakat dayak, yg terkait dengan hubungan seks pra nikah pada masyarakat Dayak. Apa anda mengerti dan mengenal kehidupan masyarakat Dayak secara khususnya. Hal ini tentunya akan memicu persepsi negatif masyarakat lain yg tidak mengerti bagaimana kehidupan masyrakat dayak beserta sistem interaksi sosialnya. Hal ini tentunya sangat melukai hati seluruh masyarakat dayak secara kesuluruhan. Karena anda Tamrin, sudah merusak nilai-nilai berbangsa dan bernegara, merujuk kepada UUD 1945 dan Pancasila, serta tidak memandang keberagaman secara keseluruhan serta pola hidup masyarakat Dayak dan Papua, terutama yg ada pada suku Dayak.

Sekali lagi kami perjelas bahwa kami masyarakat Dayak tidak lah seperti apa yg anda pikirkan, dan kami masyarakat dayak hidup dan menjalankan sebuah kehidupan dan interkasi (sexs yg anda maksudkan) tidak berdasarkan penelitian anda yg konyol dan tidak logika. Karena kami Masyarakat Dayak sangat menjunjung tinggi norma dan nilai-nilai adat dalam kehidupan kami.

Klarfikasi Tamrin setelah disurati :

Menanggapi hal ini, Tamrin yg dihubungi kompas. com, Rabu, menjelaskaan, apa yang disampaikannya bukan dimaksudkan untuk menyamaratakan semua suku Dayak. “ Saya sebutkan detail dipengadilan dalam penjelasan selama satu jam lebih bahwa itu hasil penelitian saya terhadap beberapa suku di Indonesia. Bukan menyamaratakan, “ Kata Tamrin.

“Poin saya (dalam sidang) adalah memperlihatkan keanekaragaman dan kemajemukan serta toleransi. Saya menyampaiakan bahwa UU Pornografi akan kesulitan karena menghadapai budaya yg berbeda-beda. Saat menjelaskan keanekaragaman itu saya sampai pada contoh, antara lain, menyebut penelitian saya terhadap beberapa suku Papua dan Dayak” Jelas Tamrin. Selain itu, menurut Tamrin, apa yg dinyatakan dipengadilan sebenarnya bukan konsumsi publik, melainkan untuk forum yg khusus. : itu untuk keperluan pengadilan, penegakan hukum, atau diskusi akademik. Kalau dibawa kediskusi publik akan repot karena yg muncul reaksi-reaksi seperti itu, karena setiap orang memiliki keragaman tingkat pemahaman, “ Kata Tamrin.

Analisa : Sangat-sangat tidak masuk akal dan tidak bertanggung jawab, karena tamrin sudah lari dari topik pembicaraan dan menyangkal apa yg sudah keluar dari mulutnya sendiri. Tamrin mengatakan bukan Menyamaratakan. Apa tamrin mengetahui Dikalimantan sendiri didiami oleh berbagai macam ragam suku bangsa. Mayoritas Suku Dayak, Suku Dayak sendiri terbagi atas berbagai sub suku Dayak. Dikalbar sendiri terdapat 151 sub suku dayak. Katanya anda seorang sosiolog, apa anda pernah belajar bahwa bagaimana masyarakat dayak secara keseluruhan, kehidupan nya, sistem interaksi, dan norma – norma yg dijunjung dalam masyarakat Dayak. Mengapa anda bisa mengatakan bahwa Suku Dayak serendah itu. Yang anda maksudkan dengan menyamaratakan diatas, adalah anda mendeskritasikan suku-suku yg telah anda sebutkan. Mengapa kami berani mengatakan anda mendeskritasikan, karena hasil penelitian anda terhadap suku-suku yg anda sebutkan adalah asal bicara, asal teliti, bahkan mungkin anda mabuk atau tidak waras dalam melakukan penelitian tersebut. Karena penelitian anda sangat jauh menyimpang dari kenyataan.

Jangan Kaitkan poin yg anda sebutkan dengan UU Pornografi, apa anda ingin beretorika, atau mengalihkan topik?? Memang pernyataan anda keluar pada saat persidangan kasus video asusila dan terkait dengan UU Pornografi. Saya bependapat jika anda mengatakan Indonesia memiliki budaya yg berbeda. Tetapi penelitian anda terhadap suku yg ada di Papua dan Dayak, sangat melenceng. Dipapua sendiri, masyarakatnya sangat berpegang teguh dengan nilai-nilai dan pranata Adat. Begitu juga dengan masyarakat Dayak. Mengapa anda berani mengatakan bahwa disuku dayak “bersenggama tanpa diikat oleh perkawinan oleh sejumlah masyarakat sana sudah dianggap biasa. Malah, hal itu dianggap sebagai pembelajaran seks”. Atas dasar apa Tamrin…. Coba anda sebutkan disuku Sub Dayak mana anda melakukan penelitian tersebut, dan didaerah mana, Kami mau anda memaparkan secara detail. Apakah anda bisa membuktikan nya??

Anda juga mengatakan pernyataan anda dipengadilan sebenarnya bukan konsumsi publik, melainkan untuk forum yg khusus. : itu untuk keperluan pengadilan, penegakan hukum, atau diskusi akademik. Kalau dibawa kediskusi publik akan repot karena yg muncul reaksi-reaksi seperti itu, karena setiap orang memiliki keragaman tingkat pemahaman. Anda sudah mendapat reaksi yg sangat keras dari masyarakat Dayak, ini bukan terpacu pada keberagaman tingkat pemahaman. Tingkat pemahaman apa yg beragam, jika penelitian anda tidak sesuai dengan kenyataan dan menyimpang. Sudah jelas kami tidak akan terima dengan hasil penelitian dan pernyataan anda. Tidak terkait dengan pemahaman yg bergam serta persepsi yg berbeda. 200 juta penduduk Indonesia, tentunya juga memiliki 200 juta sifat, kearifan, pemahaman, dan pandangan.

Analisa : Tingkat Pemahaman kami sudah tentu sangat-sangat bertolak belakang dengan apa yg anda paparkan, karena bagi kami dan saya secara pribadi. Penelitian anda adalah omong kosong belaka. Anda bisa melakukan sebuah riset/penelitian, tetapi apakah anda lansung terjun lansung kepada objek yg anda teliti…. Mengapa saya berani mengatakan anda hanya asal bunyi. Apa anda tau secara keseluruhan bagaiamana masyarakat Adat hidup… Mereka mereka berpegang teguh pada pranata dan norma2 adat. Saya menantang anda, anda adalah seorang sosiolog dan anda mengerti bagaimana pemahaman bidang ilmu dan serta keterkaitan nya. Disini saya ingin anda meneliti Dayak kembali, secara khususnya sub suku dayak Keninjal, karena saya adalah putra asli dayak tersebut. Saya dilahirkan dan besar oleh kekerabatan sub suku tersebut. Apa anda berani?? Saya tantang Anda Tamrin…….

TUNTUTAN KAMI :

1. Anda harus mengklarifikasi penelitian anda yang telah mendeskritasikan suku yang anda maksudkan dalam pernyataan anda dan penelitian anda terkait kasus persidangan video asusila Ariel yg dimuat pada harian kompas tertanggal 30 Desember 2010

2. Pada Sub Suku Dayak apa, Daerah mana dasar penelitian anda.. Kami minta secara Detil, Sebab jika terbukti, Ini akan menjadi bahan acuan seluruh masyarakat Adat seluruh Indonesia untuk meperbaiki sistem dan pranata Adat (Mengacu pada penelitian anda)

3. Anda harus meminta maaf secara khusus kepada seluruh masyarakat Dayak secara keseluruhan melalui semua media baik media massa maupun televisi, Jika poin kedua tidak terbukti.

4. Anda harus menarik kembali pernyataan anda pada harian kompas, tertanggal 30 Desember 2010, Jika poin kedua tidak terbukti. Dan Poin ketiga harus anda lakukan.

5. Kami masyarakat Adat Dayak Sekalimantan, Secara Umum di Pulau kalimantan dan Khususnya Dikalimantan Barat akan menjatuhkan Hukuman Adat Kepada Anda, jika anda tidak bisa membuktikan penelitian anda.

CAMKAN ITU TAMRIN…

Oleh : Beny Evafras (Ikatan Pemuda Dayak Kabupaten Melawi) & Dayak Lover In Facebook.

Punahnya Telinga Panjang Suku Dayak


Oleh : Teddy Rumengan

Seni tato dan telinga panjang menjadi ciri khas atau identitas yang sangat menonjol sebagai penduduk asli Kalimantan. Dengan ciri khas dan identitas itulah yang membuat suku Dayak di kenal luas hingga dunia internasional dan menjadi salah satu kebanggan budaya yang ada di Indonesa. Namun tradisi ini sekarang justru semakin ditinggalkan dan nyaris punah. Trend dunia fashion telah mengikis budaya tersebut . Kalaupun ada yang bertahan, hanya sebagian kecil golongan generasi tua suku Dayak yang berumur di atas 60 tahun. Generasi suku Dayak diatas tahun 80-an bahkan generasi sekarang mengaku malu.

Di Kalimantan Timur untuk bisa menemui wanita suku Dayak yang masih mempertahankan budaya telinga panjang sangat sulit. Karena kini hanya bisa ditemui dipedalaman Kalimantan Timur dengan menempuh jalur melewati sungai yang memakan waktu berhari-hari. Karena gaya hidup suku Dayak memang lebih akrab dengan hutan maupun gua.

Untuk melestarikan budaya, tradsi maupun adat suku Dayak Pemerintah Kota Samarinda membangun perkampungan budaya suku Dayak yang diberi nama Kampung Budaya Pampang. Di desa ini ada sekitar 1000 warga suku Dayak yang masih mempertahankan budaya, tradisi maupun adat.

Namun sayangnya khusus untuk budaya telinga panjang hanya sedikit wanita suku Dayak saja yang mempertahankannya. Lainnya telah memotong karena mengaku malu. Wanita suku Dayak yang masih mempertahankan telinga panjang itu dan tidak pernah keluar dari kampong itu, bahkan mereka pun hanya terlihat saat ada kegiatan ataupun ucapacara adat.

Beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi desa Pampang dan berbincang-bincang dengan nenek Meh (60) wanita suku Dayak yang masih mempertahankan budaya telinga panjang itu.

Untuk bisa menuju Kampung Budaya Pampang, memakan waktu sekitar 30 menit dari pusat Kota samarinda, karena letaknya berjarak sekitar 20 km. Biaya yang dikeluarkan sekitar Rp 50 ribu. Sebenarnya suku Dayak yang tinggal di Kampung Pampang merupakan sub-etnis Dayak Kenyah.
Semula kawasan tersebut merupakan hutan, namun setelah warga Dayak Kenyah dari Desa Long , Apokayan, Kabupaten Bulungan yang berjumlah 35 orang bermigrasi, kawasan itu kemudian berkembang seperti sekarang ini. Kendati menerima budaya modern dari luar, warganya tetap teguh mempertahankan tradisi sehingga perkampungan ini dijadikan Kampung Budaya Pampang oleh Pemerintah Kota Samarinda.

Warga suku Dayak Kenyah di Pampang tetap mempertahankan budaya leluhurnya, seperti menenun, mengukir, dan membuat aneka kerajinan tangan. Di Kampung ini pun masih terdapat Lamin (rumah panjang khas Dayak). Bagi para wisatawan yang ingin membeli souvenir, di Desa Pampang banyak orang yang menjajakan berbagai pernak pernik dari yang kecil hingga yang besar seperti gantungan kunci dan patung kayu.

Setiap hari libur, warga Dayak menggelar berbagai tarian tradisional di Lamin antara lain Tari Kancet Lasan, Kancet Punan Lettu, Kancet Nyelama Sakai, Hudog, Manyam, Pamung Tawai, Burung Enggang, dan tari Leleng.

PERTANDA WANITA BANGSAWAN

Menurut asal-usulnya ratusan tahun lalu, budaya telinga panjang bukan hanya dilakukan wanita, pria juga ada yang memanjangkan telinga. Dan yang memanjangkan telinga hanya kaum bangsawan suku Dayak. “Kalau dulu hanya yang memiliki status social ataupun yang disebut bangsawan yang memanjangkan telinga,” kata Moh dengan bahasa Indonesia yang terbata-bata.

Moh pun mengaku tidak tahu kapan tepatnya suku Dayak mulai memanjangkan telinga. Dirinya hanya tahu sejak ratusan tahu lalu. “Saya pun memiliki telinga panjang ini karena orang tua yang memasangkan gelang ini sejak masih bayi,” ucap, ibu enam anak ini.

Telinga panjang pada Wanita Dayak menunjukkan dia seorang bangsawan sekaligus untuk membedakan dengan perempuan yang dijadikan budak karena kalah perang atau tidak mampu membayar utang.

Disamping itu telinga panjang digunakan sebagai identitas untuk menunjukkan umur seseorang. Begitu bayi lahir, ujung telinga diberi manik-manik yang cukup berat. Setiap tahun, jumlah manik-manik yang menempel di telinga bertambah satu.

“Karena itu, kalau ingin mengetahui umur seseorang, bisa dilihat dari jumlah manik-manik yang menempel di telinga. Jika jumlahnya 60, maka usianya pasti 60 tahun karena pemasangan manik-manik tidak bisa dilakukan sembarangan, cuma setahun sekali,” ucap Moh lagii

Teling panjang juga memiliki makna dimana untuk melatih kesabaran. “Bayangkan saja, betapa beratnya manik-manik yang tergantung di telinga, tetapi, karena dipakai setiap hari, kesabaran dan rasa penderitaan mereka menjadi terlatih,” terangnya.

Agar daun telinga menjadi panjang, biasanya daun telinga diberi pemberat berupa logam berbentuk lingkaran gelang atau berbentuk gasing ukuran kecil. Dengan pemberat ini daun telinga akan terus memanjang hingga beberapa sentimeter.

Moh menuturkan, selain status social, wanita suku Dayak yang memanjangkan telinga karena dianggap cantik. “Makin panjang telinga, maka akan semakin cantiklah wanita Dayak,” terang wanita yang tak pernah mengenyam pendidikkan ini .

MULAI PUNAH

Yang masih mempertahankan budaya telinga panjang kini tinggal sedikit. Mereka yang asalnya bertelinga panjang secara sengaja memotong ujung daun telinga mereka. Alasan yang sering dikemukakan, takut dianggap ketinggalan zaman atau khawatir anak-anak mereka merasa malu.

Dikatakan Moh, mulai punahnya budaya telinga panjang, menurut cerita yang ia tahu ketika mulai masuknya para misionaris ke daerah pedalaman di perkampungan Dayak pada zaman kolonial Belanda dulu.

Meski ia tak tahu persisnya kapan mulai punah, tapi rata-rata yang masih mempertahankan budaya telinga panjang adalah wanita suku Dayak yang berusia diatan 60 tahun. Sedangkan genersi sekarang sudah tidak ada. Budaya ini pun semakin terkikis habis ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia di daerah perbatasan Kalimantan.

Saat itu berkembang stigma di masyarakat, mereka yang berdaun telinga panjang dan tinggal di rumah- rumah panjang, yang dihuni beberapa keluarga, merupakan kelompok masyarakat yang tidak modern. Tidak tahan terhadap pandangan seperti itu, akhirnya beberapa warga memotong telinga panjangnya.

Stigma semacam ini terus berlangsung hingga sekarang. Kalangan generasi muda Dayak tidak mau lagi membuat telinga panjang karena takut dianggap ketinggalan zaman dan tidak modern. Hanya sebagian kecil masyarakat Dayak yang masih memegang teguh tradisi berdaun telinga panjang, dan itu pun jumlahnya sangat minim.

TETAP AKAN MEMPERTAHANKAN

Namun hal itu tidak berlaku bagi Moh, ia tetap tidak akan mau memotong telinganya yang kini telah panjang sekitar 30 cm. Bahkan ia merasa bangga dan percaya diri dengan bertelinga panjang. Walaupun mendapat desakan dari anak ataupun cucunya, Moh tak bergeming dan tetap mempertahankan.

Dirinya mengakui, dengan telinga panjang, anak maupun cucu nya merasa malu. Tapi ia tak peduli, baginya ini merupakan tradisi yang akan dipertahankan hingga dirinya menghadap yang kuasa. Apalagi ia menghormati leluhur dan pesan orang tuanya, agar telinga panjang miliknya tidak dipotong.

Namun Moh memahami keinginan anak maupun cucu nya, karenanya, wanita berkulit kuning langsat ini pun tidak pernah bersama anak ataupun cucu nya jika ke Kota samarinda. Ia pun bahkan hanya berdiam di rumah dan berladang, hanya muncul sekali-kali jika ada kegiatan ucapara adat.

Moh juga tidak pernah malu, jika terkadang mendapat cibiran ataupun ejekan dari warga yang datang ke Kampung Pampang termasuk dari anak dan cucu nya. Justru sering mendapat pujian dari masyarakat karena mempertahankan tradisi itu. “Banyak yang kagum melihat telinga saya yang panjang,” tuturnya sambil tertawa.

MENDATANGKAN REJEKI

Dengan telinganya yang panjang, Moh justru menghasilkan rejeki. Sejak Kampung Pampang ditetapkan sebagai desa budaya oleh Pemerintah Kota Samarinda, membawa keuntungan bagi Moh. Pasalnya Pampang setiap hari Minggu selalu didatangi wisatawan domestik maupun mancanegara.

Setiap hari Minggu, pukul 14.00 hingga 16.00 wita, biasanya digelar acara budaya yang menampilkan berbagai tarian Dayak, bertempat di rumah panjang khas Dayak. Tarian yang biasa ditampilkan, yakni tari Kancet Lasan, Kancet Punan Lettu, Kancet Nyelama Sakai, Hudog, Manyam, Pamung Tawai, Burung Enggang, dan tari Leleng.

Kehadiran wisatawan maupun pengunjung itulah yang membawa berkah. Pasalnya setiap pengunjung selalu meminta foto bersama. Kesempatan itulah digunakan Moh, untuk meraup rejeki. Tarif yang dipasangnya untuk sekali berfoto Rp 25 ribu. “Yah lumayan untuk menambah biaya hidup,” ujar wanita yang tak bisa membaca ini.

Setiap Minggu, Moh bisa menghasilkan hingga ratusan ribu rupiah dari hasil foto bersama pengunjung. Selain itu dirinya juga mendapat honor dari pertunjukkan menari dihadapan pengunjung.

Disamping itu beberapa daerah kerap memakai dirinya saat ada agenda kunjungan pejabat pusat hingga presiden. Begitu juga jika ada acara nasional yang di selenggarakan di Kalimantan Timur, termasuk launching beberapa perusahaan dan produk local.

DIANGGAP KETINGGALAN JAMAN

Menarik mendengar tanggapan salah satu cucu Moh, Ayan Abel yang sempat berbincang- bincang dengan saya. Gadis remaja yang kini duduk di bangku SMP ini menuturkan budaya telinga pajang tidak modern alias sangat ketingalan zaman.

Ia pun mengaku dengan memiliki telinga panjang, wanita tidak akan terlihat cantik. Saat ini kata Abel, wanita Dayak juga dituntut untuk juga mengikuti dunia fesyen yang sedang kian trend setiap tahunnya.

Abel mengakui dirinya sempat minder memiliki nenek, dengan telinga panjang. Dirinya bahkan beberapa kali menganjurkan agar neneknya memotong telinga, namun sang nenek tak bergeming dan tetap dengan telinga panjangnya.

“Kata nenek dengan telinga panjang akan terlihat cantik, tapi itu kan menurut tradisi dulu dan sekarang tidak mungkin, justru kalau dengan penampilan seperti itu akan membuat malu, kalau harus jalan-jalan (mejeng),” aku, gadis berparas cantik ini.

Meski Abel menentang, namun dalam hatinya bisa memahami, hanya saja tuntutan zaman yang dianggap tidak sesuai lagi. “Yah mau apalagi, karena tradisinya sudah seperti itu, yang pasti saya mungkin tidak pernah jalan bersama nenek ke mall dengan kondisi seperti itu, meski saya juga merasa bangga,” tandasnya. (teddy rumengan/berbagai sumber)


original source : www.kompasiana.com